KEMERDEKAAN LAHIR BATIN ALA ROMO MANGUNWIJAYA






Materi  “Temu Blogger ONE Indonesia”

Romo Mangunwijaya. Tokoh yang satu ini memang lumayan seksi lahir batin dalam beberapa lakon hidupnya. Belum banyak tokoh kekinian yang menyamai pencapaian prestasinya. Budayawan, penulis, dosen arsitektur sekaligus penggagas pendidikan dasar “Mangunan”. Pemerhati sosial dan lingkungan hidup yang tidak hanya membuat wacana tapi juga ikut dalam aksi sosial itu sendiri. Satu lagi, dia pun seorang rohaniawan katolik.

Meski berstatus sebagai seorang ulama katolik, Romo Mangun ternyata bukan tipe romo yang betah berlama-lama dalam lingkungan gereja dan pastoran. Dia tercatat sebagai seorang pastor yang berani melompat keluar dari tembok tebal gereja untuk berkarya bersama orang pinggiran. Sebuah keputusan yang tidak biasa yang diambilnya di tahun 1980 an saat ingin berkarya di perkampungan Kali Code, Yogyakarta. Beruntung, Keuskupan Agung Semarang yang menaunginya member restu.

Sebagai seorang penulis, Romo Mangun pun tercatat sebagai penulis yang begitu lincah bercerita, membongkar sejarah dan mencatatnya sebagai hitam-putih tanpa tedeng-aling. Salah satu master piece-nya “Burung-Burung Manyar” ditulis selama delapan tahun setelah puluhan kali mengalami perombakan struktur. Terbit pada tahun 1981 dan menjadi nominasi buku sastra terbaik 1982 versi Depdikbud RI. Tapi entah kenapa, buku itu kemudian dicoret dari daftar unggulan lantaran temanya yang cukup kontroversi: keberpihakan seorang pribumi kepada KNIL karena sesuatu yang prinsipil. Anehnya, buku itu justru meraih penghargaan sebagai buku sastra ASEAN terbaik dalam SEA Write Award 1983 dan kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa antaranya. Inggris, Jerman, Belanda, dan Jepang.

Tema dan cara bercerita Romo Mangun di “Burung-Burung Manyar” memang dashyat.  Ada sebuah kegairahan melihat sejarah apa adanya.  Ada sebuah kemerdekaan yang bersemayan dalam diri seorang Mangun, kemerdekaan lahir batin untuk menyuarakan kebenaran yang baginya tetap sebuah kebenaran meski dibungkus dengan kain hitam sekalipun.  Inilah yang menarik saat kita menyoalkan seorang Mangun dalam konteks kemerdekaan dan perjuangannya untuk orang banyak.

PENCERAHAN

Lahir di Ambarawa pada 6 Mei 1929 dengan nama Jusuf Bilyarta Mangunwijaya. Kakek-neneknya adalah penganut muslim secara tradisi, sedang kedua orangtaunya penganut Katolik yang taat. Ayahnya, Yulianus Sumadi Mangunwijaya adalah seorang pendidik, pernah menjadi guru sekolah dasar di Ambarawa, Muntilan dan kepala sekolah SMP Pandawa Kanisius Magelang. Di usia senjanya sempat menjadi ketua DPRD Kedu.  Ibunya, Serafin Kamdaniyah juga seorang guru taman kanak-kanak. Begitu juga dengan kedua pamannya juga seorang guru. Terasa benar betapa lingkup pendidikan begitu kuat mengepung kehidupannya sejak kecil. Karena kemahiran bapak dan ibunya berbahasa Belanda, Bilyarta mampu berbahasa Belanda sebelum dia menguasai bahasa Inggris. Namun seperti pribumi-pribumi lainnya, bahasa Jawa Kromo dan Ngoko tetap saja menghiasai keseharian di rumahnya. 

Pendidikan dasarnya sewaktu sekolah di HIS sangat membekas dalam ingatannya. Sekolah menurutnya kala itu bagai firdaus, murid-murid tidak hanya diberikan latihan kecerdasan tapi juga pendidikan kemanusiaan dan berbagai ketrampilan seperti berbicara di depan kelas, menulis, dan menyanyi.  Setelah menamatkan HIS, Bilyarta melanjutkan ke STM Jetis Jogjakarta. Namun beberapa kali sekolahnya ditutup karena perang kemerdekaan. Dan dia pun akhirnya terpanggil untuk bergabung menjadi Tentara Pelajar. Inilah pencerahan berikutnya yang memberikan pengajaran kepada Bilyarta tentang perang dan kemanusiaan sesungguhnya. Siapa pahlawan dan siapa musuh. Karena dimatanya ternyata, rakyat kecil yang tertindas selama perang yang tak dapat melakukan apa-apa lah sebenarnya juga  para pahlawan yang tak pernah dituliskan dalam buku-buku sejarah. Mereka lah orang yang paling berjasa yang menjaga dapur umum dan mengorbankan harta benda demi kelangsungan perang kemerdekaan.

Usai kemerdekaan, dia melanjutkan ke SMA Albertus di Malang dengan cita-cita melanjutkan ke ITB.
Tapi kejadian pada tahun 1950, saat menghadiri syukuran kemerdekaan Indonesia di alun-alun kota Malang, sepertinya menjadi titik balik kehidupan Bilyarta muda. Ketika itu, Mayor Isman, Komandan Tentara Pelajar berpidato dengan berapi-api: Kami bukan pahlawan. Kami sebenarnya adalah penjahat. Kami sudah membunuh orang, merampok, membakar rumah. Kami masih muda, tapi tangan kami sudah berlumuran darah. Memang semua itu kami lakukan demi kemerdekaan Indonesia, tapi segala yang berhubungan dengan pembunuhan telah kami lakukan.  Tolong bimbinglah kami agar menjadi orang biasa di tengah masyarakat, untuk membangun Indonesia yang sudah merdeka ini.
Pidato itu seperti menyengat dan terus mengganggu diri Bilyarta. Berhari-hari hingga berminggu-minggu lamanya. Lalu entah kenapa, pidato itu seperti mengilhami Bilyarta untuk menyudahi mimpi-mimpi keduniawiannya dan berpaling untuk menembus dosa yang menurutnya sudah banyak dilakukannya selama perang kemerdekaan. Lalu dia memilih masuk seminari untuk menjadi seorang pastor Katolik, walau awalnya ini sempat membuat bingung kedua orangtuanya. Inilah kiranya pencerahan berikut seorang Mangun.

Dari Seminari Code, Seminari Menengah Mertoyudan berlanjut ke Seminari Tinggi Santo Paulus di Yogyakarta. Yusuf Bilyarta ditahbiskan menjadi pastor projo  pada tanggal 8 September 1959.
Beberapa bulan setelah pentahbisannya sebagai Pastor Projo, Mangun berangkat ke Bandung mengambil pendidikan di Teknik Arsitektur ITB. Hanya setahun, karena setelah itu Mgr. Soegijapranata, uskup agung yang menjadi idolanya menugaskan untuk mendalami arsitektur tata kota dan daerah lebih serius di Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman.
“Di sana kamu bisa menyerap segala ilmu dari para ilmuwan yang lebih maju peradabannya. Kamu juga bisa melihat bagaimana bangunan-bangunan di sana didirikan dengan cita-rasa tinggi tanpa meninggalkan corak budaya setempat.” Itulah ujaran gurunya pada suatu pagi berkabut. “Tugas orang Katolik itu bukan membaptis orang. Itu urusan Roh Kudus. Tugas sebenarnya adalah bagaiman membuat baik negara dan bangsa Indonesia.”
Dan, tambah sang uskup, “kemerdekaan negeri ini harus terus dipertahankan dan dibangun oleh seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali oleh umat Katolik.”

Sosok seorang Soegija cukup memainkan peranan dalam membentuk karakter kemerdekaan berpikir dan bertindak seorang Mangun. Dia seperti mengadopsi benar moto sang uskup: 100% Katolik, 100% Indonesia. Walau semua itu berproses dalam waktu yang cuku lama. 

Nov-2016

Comments

Post a Comment