Saya sudah nonton film ini. Sebuah biopic yg emosial dgn balutan kisah
asmara yg mengharu biru. Tapi saya sedikit terganggu dengan kemunculan satu sosok
berkacamata yg tak lain adalah Romo Mangunwijaya di 2 scenenya.
Usai ditahbiskan pada 1959, Romo Mangun belajar arsitektur setahun di ITB. Kemudian Mgr. soegijapranata menugaskan beliau untuk melanjutkan studi ke RWTH di Aachen, Jerman, pada 1960. Satu kampus dgn Habibie. Usianya msh sangat muda kala itu, 31 tahun dengan sebuah kegairahan laiknya mahasiswa pada umumnya meski beliau seorang pastor.
Di film ini, karakter yang digambarkan agak kurang tepat. Kala itu mangun
sangat klimis dgn wajah bersih, belum berkumis n berjenggot. Bahkan
ketika beliau kembali ke tanah air dan mengajar di UGM jg belum tumbuh
kumis dan jenggotnya. Hal lain, jubah putih yg dikenakan mangun di situ
sangat menganggu karena terkesan dia sdg menjadi pastor di kota itu.
Pdhl tidak, dia dtg bukan utk urusan teologi tp menjadi mhsiswa tekhnik.
Dimana mangun tinggal? Dia tidak tinggal di pastoran atau biara tp di sbuah kamar gudang berukuran 2x4 m sebagai upahnya sbg satpam di sekolah taman kanak2 di kota itu. Jadi menurut sy, latar belakang ini yg harusnya menjadi dasar karakter beliau. Sangat tidak lazim seorg mhasiswa walau dia seorg pastor memakai jubah putih laiknya imam di indonesia. Andai pun ya, mgkn jubah hitam dgn sembulan putih di bawah leher. Itu pun dipakai utk situasi liturgi gereja.
Scene pertemuan habibie n mangun dlm katedral, sangat dramatis. Sy suka sekali. Terlihat bgmana sorg habibie memiliki pandangan keagamaan yg cerdas di usianya yg msh sangat muda. Dia sholat dlm gereja tp sy melihatnya dia tengah sujud di hatinya. Gereja hanyalah atap dan dinding yg menjaga esensi keheningan belaka. Pertemuan itu dicatat pula oleh mangun dlm bbrapa bukunya.
Mgkn yg lbh tepat, pertemuan itu adlh pertemuan 2 org sahabat, perjumpaan senasib karena di rantau org. Bukan pertemuan sorg rohaniawan katolik dgn pelajar beragama muslim. Setahu saya, mangun pun belum terlalu "suhu" di masa itu. Segala petuah dan bahasa sastra nya baru terbentuk di tahun 1970 an saat dia menjdi dosen di UGM sekaligus pastor paroki di gereja salam magelang. Itulah masa2 kelahirannya menjadi seorg penulis.
Andai Hanung Bramantyo Anugroho sdkit lbh extra membuka catatan sejarah ini, scene katedral itu mgkn bs bikin org lbh tercekat haru sama dgn scene wafatnya ayah habibie saat sholat di rumah.
Tp lepas dari soal itu, film ini sudah berhasil membawa pesan ttg keindonesiaan yg dimikiki para anak muda yg belajar di luar negeri. Ini mengingatkan sy pula pd sepak terjang Bung Hatta dgn Perhimpunan Indonesia di Belanda dulu.
Para politikus dan wakil rakyat yg sering tertidur saat sidang di senayan, ada baiknya melihat film ini. Sangat berfaedah.
ss-september 2016
Comments
Post a Comment