SIAPA YANG BODOH?
Saya kagum pd penulis ini, bisa melihat angle lain dari kasus yg tengah menghangat. Penulisnya cerdas dan pandai, analisanya lumayan walau belum tajam. Tp sayangg...menurut saya dia msh pinter di level otak, belum menjarah ke sudut hati dan spiritual. Si penulis lupa kalau, kemanusiaan itu bukan sesuatu yg matematis, tidak terpediksi dan cenderung mengejutkan. Kemanusiaan bergerak spontanitas mengikuti panggilan nurani yang terasah oleh pengalaman dan penderitaan (Kalau sempat baca Max Havelaar yang kebetulan setting ceritanya pun berada di Banten).
Wajah si ibu yg merana dan menangis, saya yakin bukan akting (saya tahu benar, mana tangisan original dan tangisan dengan bantuan insto/rohto). Dan itulah yg mendorong si penggalang dana untuk bergerak cepat menghimpun donasi, mencoba mencari solusi bukan debat berkepanjangan, mencari jalan keluar untuk menuntaskan satu persoalan. Jadi menurut saya, dwika dkk tidak bodoh, kita lah yang lamban mengasah kecerdasan spiritual kita. Hingga ketika dwika melesat cepat dengan aksi sosialnya, segelintir orang merasa terganggu (untungnya hanya segelintir, dan ini bisa diabaikan). Ada apa dengan si penulis? Terlebih saat si penulis berusaha menyoalkan uang donasi yg mungkin sudah lebih dari 130 jt hingga hari ini. Dia mencurigai bantuan itu yg mungkin bisa membuat sang ibu menjadi pongah dan malas. Ahh...mengapa harus memelihara kecurigaan di atas jiwa besar saudara kita? Andai uang yang dihibahkan, digunakan si ibu untuk pulang kampung dan bergembira bersama sanak saudara, apa urusan kita. Itu rejekinya, yg mungkin sudah digariskan dengan cara seperti itu. Mengapa kita usil? Terpenting aksi donasi itu dilakukan dengan iklas tanpa tekanan ataupun kepentingan lain serta mampu mengembalikan tawa pada si ibu.
Satu hal yg merisaukan saya, si penulis mengajak org utk berpikir jernih tanpa melibatkan perasaan? Saya tercenung. Bagaimana bisa melihat air mata dan derita seorang ibu tanpa melarung dalam perasaan yang bertalu-talu? Saran saya utk penulis. Tengoklah ibunda anda hari ini, tataplah wajahnya, pandanglah sesekali ketika dia terlelap. Niscaya akan mendapatkan jawabnya.
Wajah dan air mata ibu pemilik warung sesungguhnya cermin dari wajah ibu siapa pun di dunia ini, ibu saya, ibu kamu, dan ibu kita semua yang terus berjuang di usia tuanya. Karena itu tak berlebihan jika simpati mengalir begitu deras hanya dalam hitungan hari. Tinggalkan sejenak segala kepinteran kita, segala dalih keilmuan saat melihat kasus seperti ini. Biarkan saja kemanusiaan yang berbicara, bukankah sesungguhnya kemanusiaan itu muara segala ibadah?
Bersyukur kita masih dikelilingi saudara2 yg bergerak tanpa perlu berpikir lama bahwa menolong adalah keharusan. Setidaknya ini menginspirasi untuk tindakan kebaikan lainnya. Mari mulai lihat sekeliling dengan hati. Ini abad revolusi mental, dimana kecerdasan spiritual pun mengambil peranan penting di samping kecerdasan keilmuan. Karena tanpa itu semua, hidup akan seperti kura-kura, yang hanya menongolkan kepala saat bencana sirna. Saat duka melanda, dia tenggelam dalam tempurung, pura-pura dan enggan menyapa. Jadi siapa yang bodoh sebenarnya?
Loveliest religion is humanity!
Saya kagum pd penulis ini, bisa melihat angle lain dari kasus yg tengah menghangat. Penulisnya cerdas dan pandai, analisanya lumayan walau belum tajam. Tp sayangg...menurut saya dia msh pinter di level otak, belum menjarah ke sudut hati dan spiritual. Si penulis lupa kalau, kemanusiaan itu bukan sesuatu yg matematis, tidak terpediksi dan cenderung mengejutkan. Kemanusiaan bergerak spontanitas mengikuti panggilan nurani yang terasah oleh pengalaman dan penderitaan (Kalau sempat baca Max Havelaar yang kebetulan setting ceritanya pun berada di Banten).
Wajah si ibu yg merana dan menangis, saya yakin bukan akting (saya tahu benar, mana tangisan original dan tangisan dengan bantuan insto/rohto). Dan itulah yg mendorong si penggalang dana untuk bergerak cepat menghimpun donasi, mencoba mencari solusi bukan debat berkepanjangan, mencari jalan keluar untuk menuntaskan satu persoalan. Jadi menurut saya, dwika dkk tidak bodoh, kita lah yang lamban mengasah kecerdasan spiritual kita. Hingga ketika dwika melesat cepat dengan aksi sosialnya, segelintir orang merasa terganggu (untungnya hanya segelintir, dan ini bisa diabaikan). Ada apa dengan si penulis? Terlebih saat si penulis berusaha menyoalkan uang donasi yg mungkin sudah lebih dari 130 jt hingga hari ini. Dia mencurigai bantuan itu yg mungkin bisa membuat sang ibu menjadi pongah dan malas. Ahh...mengapa harus memelihara kecurigaan di atas jiwa besar saudara kita? Andai uang yang dihibahkan, digunakan si ibu untuk pulang kampung dan bergembira bersama sanak saudara, apa urusan kita. Itu rejekinya, yg mungkin sudah digariskan dengan cara seperti itu. Mengapa kita usil? Terpenting aksi donasi itu dilakukan dengan iklas tanpa tekanan ataupun kepentingan lain serta mampu mengembalikan tawa pada si ibu.
Satu hal yg merisaukan saya, si penulis mengajak org utk berpikir jernih tanpa melibatkan perasaan? Saya tercenung. Bagaimana bisa melihat air mata dan derita seorang ibu tanpa melarung dalam perasaan yang bertalu-talu? Saran saya utk penulis. Tengoklah ibunda anda hari ini, tataplah wajahnya, pandanglah sesekali ketika dia terlelap. Niscaya akan mendapatkan jawabnya.
Wajah dan air mata ibu pemilik warung sesungguhnya cermin dari wajah ibu siapa pun di dunia ini, ibu saya, ibu kamu, dan ibu kita semua yang terus berjuang di usia tuanya. Karena itu tak berlebihan jika simpati mengalir begitu deras hanya dalam hitungan hari. Tinggalkan sejenak segala kepinteran kita, segala dalih keilmuan saat melihat kasus seperti ini. Biarkan saja kemanusiaan yang berbicara, bukankah sesungguhnya kemanusiaan itu muara segala ibadah?
Bersyukur kita masih dikelilingi saudara2 yg bergerak tanpa perlu berpikir lama bahwa menolong adalah keharusan. Setidaknya ini menginspirasi untuk tindakan kebaikan lainnya. Mari mulai lihat sekeliling dengan hati. Ini abad revolusi mental, dimana kecerdasan spiritual pun mengambil peranan penting di samping kecerdasan keilmuan. Karena tanpa itu semua, hidup akan seperti kura-kura, yang hanya menongolkan kepala saat bencana sirna. Saat duka melanda, dia tenggelam dalam tempurung, pura-pura dan enggan menyapa. Jadi siapa yang bodoh sebenarnya?
Loveliest religion is humanity!
Dari
Mbak Ditya Sibarani saya jadi tau ada gerakan donasi bagi ibu-ibu
pemilik warteg yang terkena razia satpol PP. Gerakan donasi 10,000 ini
digagas oleh…
seword.com
Comments
Post a Comment