BAHASA DAN BANGSA




Romo Mangun mulai menulis pada tahun 1974-an di sela-sela tugasnya sebagai dosen luar biasa di Fakultas Teknik UGM. Itu pun berkat dorongan sahabat seminarinya dulu, Jacob Utama. Dasar kepenulisan, diakui didapat secara non-formal. Dari pergaulan sehari-hari dan membaca. Dia mulai belajar pertama kali dari karya-karya H.B. Yasin dan juga buku-buku sastra terbiatan luar seperti dari Swedia, Jerman, Perancis, Rusia, dan lain-lain.

Beliau banyak menulis essai sebagai bentuk kepeduliannya pada persoalan sosial sekitar sekaligus protes pribadinya.  Tulisan-tulisannya memang terkenal nyinyir dan penuh sindiran pada segala hal yang dianggapnya a-normatif. Ketika  menulis, Romo Mangun merasa menjadi pribadi yang merdeka secara batin. Segala emosi, luapan hati dan pikiran semuanya keluar menjelma menjadi sesuatu yang hidup. Tak heran jika tulisan-tulisannya terkesan nyalang dan punya roh sendiri. Bisa dilihat pada banyak esainya yang di banyak buku misalnya, Tumbal, Gerundelan Orang Republik, atau Puntung-Puntung Roro Mendut.

Romo Mangun sangat menjunjung tinggi fungsional bahasa, walau sesungguhnya dia sendiri berlatar ilmu eksak. Baginya bahasa memiliki kesaktian sedemikian rupa. Kacau bahasa seseorang, kacau pula jalan pikirannya. Kemerdekaan republik ini diraih dengan senjata? Itu salah besar. Kalau saja Soekarno, Hatta, dan Sjahrir tidak mampu melakukan diplomasi dengan kemahiran berbahasa, bisa dibayangkan apa jadinya.

Orang-orang yang memimpin dunia itu adalah orang-orang bahasa, Matematika dan fisika hanyalah pelaksana, bukan pengarah, bukan pemikir. Itulah yang akhirnya menerbitkan kesadaran Romo Mangun melirik pendidikan dasar dengan mendirikan SD Mangunan. Karena dia sadar di usia dinilah kemerdekaan berpikir itu harus diciptakan seperti  yang pernah dialamainya dulu waktu kecil.

Bahasa, gerbang awal berbangsa.

 
Nov-2016
-ss-

Comments