BANDIT REVOLUSIONER



JAKARTA’S GANGSTER

Berjudul asli, “Gangster and Revolutionaries. The Jakarta People’s Militia and The Indonesian Revolution 1945-1949”. Diterbitkan pertama kali tahun 1991 di Australia dan merupakan sebagian tesis si penulis saat meraih gelar doctor di School of Oriental and African Studies, University of London. Sebuah mahakarya yg banyak memberi informasi menarik seputar gejolak revolusi di Jakarta ketika negara baru berdiri. Risetnya gak main-main, mengandalkan pustaka dan wawancara dari ratusan tokoh revolusi segala penjuru, dari pelosok kampung hingga manca negara. Jadilah buku ini tampil gagah dan menggetarkan.

Saya dapat kiriman buku ini beberapa hari lalu lepas hujan besar kemarin. Bukan hanya gagah, buku ini dahsyat, menurut saya. Mencoba menguliti sebuah sejarah yg tak pernah kita dengar sebelumnya di sekolah. Tentang fenomena bandit di Jakarta di masa perang kemerdekaan yg merupakan koalisi antara dunia hitam dan kelompok nasionalis muda radikal yang menamakan diri sebagai laskar rakyat. Cara main mereka cantik sekali, menyusup ke kiri, ke kanan, kadang mengabdi pada Belanda, kadang pula tampil sebagai pembela kemerdekaan dengan teriakan-teriakan suci mereka. Ke mana pun mereka bergerak, yang penting fulus mengalir. Tak ayal, banyak gembong bandit yang akhirnya menjadi kaya raya karena aksi kriminalnya dan malah mencuat ke panggung politik di era kepempinan Soekarno. Meski tak sedikit, laskar yang benar-benar tulus berjuang, satu kelompoknya adalah markas Menteng 31, besutan Sutan Sjahrir.

Menariknya, hampir sebagian besar bambu runcing dibawa anggota laskar sudah diisi jimat oleh para pemimpinnya. Selain utk menambah ampuhnya senjata, juga sebagai tameng kekebalan karena berhembus kabar pada kurun waktu itu, hantu serdadu Jepang yang terbunuh masih sering gentayangan dengan formasi seperti arwah-arwah di film Tiongkok, melompat-lompat sambil menjinjing kepala mereka. Mengerikan! Di kawasan Harmonie pada masa itu sering terjadi pembunuhan diam-diam pada kalangan Belanda, Inggris dan juga Tionghoa. Mayat mereka dikuliti, jantungnya dijual kepada para pemimpin laskar seharga hampir seribu gulden, jumlah yg sangat besar saat itu. Jantung korban kemudian dicincang dan dibagi-bagikan kepada anggota laskar. Tak lain utk menambah kekebalan tubuh mereka. Nalar sehat telah hilang ketika ambisi dan dendam membara di dada.

“Laskar Rakyat” yang secara konotasi kata menyiratkan kelompok baik yang berjuang untuk kemerdekaan dan kemanusiaan, nyatanya tak bisa dikatakan baik sepenuhnya karena telah disusupi ratusan bandit. Rapat akbar di lapangan Ikada, 19 September 1945 yang dihadiri hampir 200 ribu orang, siapa bisa menjamin semuanya datang dengan niat kemerdekaan? Disinyalir banyak disusupi para kelompok laskar yang mencari kesempatan utk bikin rusuh dan menganggu stabilitas NKRI yang baru dibentuk. Tak heran jika saat itu Soekarno hanya berpidato kisaran lima menit saja karena tak ingin gelombang massa menjadi hilang fokus dan malah melakukan tindakan anarkis.  

Amir Syarifudin, menteri pertahanan terpilih, akhirnya dengan tegas menolak desakan para laskar yang ingin bergabung ke dalam kesatuan tentara Indonesia lantaran semua tindak tanduk mereka yang meresahkan itu. Sjahir mencoba mendekati dengan mengajak diplomasi. Soekarno dan Hatta hanya bisa menggelengkan kepala sambil memijat kening ketika mendengar para laskar terus-menerus turun ke jalan sepanjang tahun.
Jika saya ingin mendramakan dialog mereka berdua. Mungkin seperti ini,
“Mereka masih dalam euforia kemerdekaan, masih dibelit emosi radikal. Mereka pikir, negara ini akan tegak berdiri hanya dengan otot saja,” kata Soekarno. Hatta berjalan pelan di sampingnya. Alisnya terangkat, “Sudah saatnya, No, kita segera memajukan pendidikan di negeri ini. Karena dengan pendidikanlah, otak terasah dan kecerdasan tercapai. Kita perbanyak cetakan buku, agar mereka mau membaca dan koar-koar mereka ada isi dan mutunya.”

Akhirnya, saya ingin sekali merekomendasikan buku keren ini utk menjadi kupasan di bangku-bangku sekolah. Kita perlu membaca sejarah lebih benar. Berani melihat hitam-putih tanpa berprasangka, karena sejarahlah yang membuat kita lebih arif dan bijak menyikapi persoalan ke depan.
NKRI bukan hanya harga mati, tapi juga sebuah konsensus yang harus dipertahankan mati-matian jika melihat perjalanan jatuh-bangun para pendiri negeri ini. Mari kita belajar bersama!
Salam hangat saya untuk “Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta” di era kekinian.

Toast!



Comments