Yap Thiam Hien, memang bukan Judge Bao. Dia adalah penegak hukum jujur
dan bersih yang pernah dimiliki Republik ini. Dikenal sebagai pengacara
gahar yg lantang menentang ketidakadilan dan diskriminasi tanpa
mengenal status, golongan ataupun agama.
Pembelaannya memburu kebenaran, bukan sekedar kemenangan. Tak heran jika dia sering mengejar keadilan bagi tukang becak, kuli bangunan, dan orang-orang tersingkirkan karena kasus PKI. Satu hal yang membuat orang banyak geleng kepala, dengan mengantongi gelar Meester in de Rechten dari Universitas Leiden, sesungguhnya Yap bisa berkarir dengan gaji berlimpah dan menjadi kaya-raya. Namun, dia memilih jalan lain, sebuah jalan yang haram dimasuki oleh para politikus dan praktisi hukum kemaruk di negeri ini.
Pada era 80-an, ketika banyak kantor pengacara menetapkan tarif Rp. 40 juga per klien, Yap hanya memberi tarif 5 sd 10 juta saja. Malah tak jarang dia sendiri harus menggratiskan jasa profesinya lantaran simpati kepada orang yang dibelanya.
Panggil dia “Yap” saja, seperti sejarah menyebut Soe Hok Gie dengan Gie, atau tokoh yang baru saja divonis 2 tahun dengan nama Ahok. Dia adalah teladan di tengah karut-marut sistem peradilan tanah air ini. Dia juga cermin bersih untuk para penegak hukum yang kotor dan tak punya nyali memperjuangkan keadilan. Seperti pleidoinya saat menjadi terdakwa kasus pencemaran nama baik dua pejabat negara, “tugas utama pengadilan ialah mencari dan menemui kebenaran!”
“Saudara Ketua Majelis! Tolong hakim anggota diingatkan! Hakim jangan mengejar-ngejar terdakwa. Ia berhak mendapat perlakuan praduga tanpa salah! Jangan pojokkan. Jangan ambil tugas jaksa.” Itulah satu kenangan keberanian Yap di podium pengadilan saat dilihatnya hakim keliru karena berlaku seperti jaksa penuntut umum.
Wahai pengendali keadilan tanah air, bercerminlah kepada Yap, tokoh minoritas tiga lapis: Cina, Kristen, dan Jujur. Tokoh yang namanya telah diabadikan dalam penghargaan bagi tokoh pejuang hak asasi manusia: Yap Thiam Hien Award. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, setiap ketidakadilan harus dilawan, sekalipun hanya dalam hati.
ss/mei17
sumber foto: internet
Pembelaannya memburu kebenaran, bukan sekedar kemenangan. Tak heran jika dia sering mengejar keadilan bagi tukang becak, kuli bangunan, dan orang-orang tersingkirkan karena kasus PKI. Satu hal yang membuat orang banyak geleng kepala, dengan mengantongi gelar Meester in de Rechten dari Universitas Leiden, sesungguhnya Yap bisa berkarir dengan gaji berlimpah dan menjadi kaya-raya. Namun, dia memilih jalan lain, sebuah jalan yang haram dimasuki oleh para politikus dan praktisi hukum kemaruk di negeri ini.
Pada era 80-an, ketika banyak kantor pengacara menetapkan tarif Rp. 40 juga per klien, Yap hanya memberi tarif 5 sd 10 juta saja. Malah tak jarang dia sendiri harus menggratiskan jasa profesinya lantaran simpati kepada orang yang dibelanya.
Panggil dia “Yap” saja, seperti sejarah menyebut Soe Hok Gie dengan Gie, atau tokoh yang baru saja divonis 2 tahun dengan nama Ahok. Dia adalah teladan di tengah karut-marut sistem peradilan tanah air ini. Dia juga cermin bersih untuk para penegak hukum yang kotor dan tak punya nyali memperjuangkan keadilan. Seperti pleidoinya saat menjadi terdakwa kasus pencemaran nama baik dua pejabat negara, “tugas utama pengadilan ialah mencari dan menemui kebenaran!”
“Saudara Ketua Majelis! Tolong hakim anggota diingatkan! Hakim jangan mengejar-ngejar terdakwa. Ia berhak mendapat perlakuan praduga tanpa salah! Jangan pojokkan. Jangan ambil tugas jaksa.” Itulah satu kenangan keberanian Yap di podium pengadilan saat dilihatnya hakim keliru karena berlaku seperti jaksa penuntut umum.
Wahai pengendali keadilan tanah air, bercerminlah kepada Yap, tokoh minoritas tiga lapis: Cina, Kristen, dan Jujur. Tokoh yang namanya telah diabadikan dalam penghargaan bagi tokoh pejuang hak asasi manusia: Yap Thiam Hien Award. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, setiap ketidakadilan harus dilawan, sekalipun hanya dalam hati.
ss/mei17
sumber foto: internet
Comments
Post a Comment