MENGGUGAT AGAMA DI "JALAN DAMAI"



Saya tidak tahu, kenapa jalan kecil menuju kantor Indosiar bernama “Jalan Damai”. Tapi itulah jalanan yg pernah saya lalui lebih dari dua belas tahun.
Di kantor itu, saya bekerja. Sebuah kantor televisi swasta yg pernah menjadi hits di masanya. Hampir kebanyakan kawan tak menyangkal, kantor itu tak ubah sebuah rumah besar yang menyenangkan, memberikan gairah dan kerinduan, sebagai tempat bekerja sekaligus belajar karena banyak sekali ilmu yg didapat di sana. Jelang sore hingga tengah malam, terutama di departemen produksi, ruangan kami sering kali seperti  arena bermain yg hingar-bingar. Orang teriak sesukanya, main game, tidur di kolong-kolong meja hingga client dan narsum yg kebetulan melongok sering bertanya: ini kantor atau pasar malam,  ya?

Di depan kantor kami dulu, hanya beberapa langkah, banyak tukang jajanan, ketoprak, gorengan, indomie, sop buntut, dan lainnya. Kami menyebutnya, Amigos, “agak minggir ke got”. Di situlah, saban sore hingga tengah malam, kami kongkow, makan bareng, sambil mendiskusikan banyak hal.  Obrolan ringan, perbincangan yg selalu melahirkan tawa. Nyaris tak pernah ada obrolan sensitive seputar SARA, tentang etnis atau agama. Tak ada, malah saat itu bagi kami, SARA adalah bualan dan rekayasa orang yang takut pada perubahan. Kalau pun sesekali terselip, hanya sebatas canda yang sekejab menghilang dilindas kesibukan kami.

Di amigos itu juga, kami sering duduk tercenung menunggu datang gaji pd tanggal 24 malam setiap bulannya, atau uang kenakalan yg hanya berkisar 60 ribu sd seratus ribu tiap tgl 15. Sering, karena kondisi terjepit,  beberapa kawan melakukan join transfer hanya untuk bisa mendapatkan nilai uang 50 ribu. Itu bukan rahasia di antara kami. Dan kami terus dipersatukan oleh perasaan dan persoalan yang sama.
Lama kisah itu berlalu. Puluhan tahun sudah, kami terpisah. Semua telah berkibar di tempat lain dengan cara dan karir masing-masing. Pencapaian-pencapaian itu semua membuat kami bangga mengaku sebagai alumi “Jalan Damai”. Meski sebagian teman masih ada yang bertahan di sana. Kami sudah tidak kurus lagi, kami sudah masuk ke dalam himpunan yg org bilang: mapan atau setengah mapan. Kami sudah oke lah, pokoknya.

Belum lama saya melewati kembali jalan itu. Kerinduan puluhan tahun silam menyergap datang. Tapi entah kenapa, tiba-tiba “Jalan Damai” itu seperti menertawakan saya.  Saya terdiam lama dan menyadari benar apa yang tengah terjadi sekarang.
Kebersamaan kala silam ternyata hanya sebuah sejarah rapuh. SARA yg dulu tak pernah kami perhitungkan, perlahan tumbuh dan membesar di kalangan kami. Di media sosial kami saling menyindir dan menyerang. Seakan tak pernah ada keterkaitan masa kini dan masa lalu. Dan inilah kali pertama, saya sebagai bagian dari minoritas,  benar-benar merasa berbeda, hanya lantaran saya bukan seorang muslim dan beretnis Tionghoa.  Kali pertama saya tahu kalau saya adalah kafir dan sejenis kaum yang harus dipertobatkan seperti yg dikoar-koarkan. Tanpa disadari, hal itu telah melukai, menodai  kepercayaan saya dan tentu telah mencemarkan hakikat sebuah pertemanan. Dan rasa sakit ini sudah mendera lama sekali…saat dunia luar pun tak henti-hentinya menghujat dan berteriak: bunuh, usir, dan  ganyang Cina! Saya malas meneruskan kata-kata ini karena itu hanya akan melemahkan jantung dan persendian saya.  

Saya tersenyum kecut. Di ujung gang, saya masih melihat mami tukang nasi goreng yang masih terus menggoreng hingga malam itu. Saya rindu nasi gorengnya, saya kangen teriakannya yang melengking kalau memanggil. Tapi saya sadar, itu semua tak bisa mengembalikan kebersamaan indah dulu. Masa lalu saat kami berjuang bersama, membangun cita-cita bersama, dan masa lalu saat kami belum siapa-siapa. Termenung saya dan bertanya: ada apa dengan kita? Lantas saya mengumpat sendiri dan diam-diam menggugat sebuah benda bernama, agama. Saya bilang: saya cemburu padamu, agama, karena kau telah merampas persahabatan kami.

Hujan turun. Dalam mobil, saya mencoba menghitung jumlah teman yang masih cukup “sehat” cara berpikirnya. Sontak saya tersenyum. Ternyata masih banyak dari kami yang terus menjaga keberagaman seperti puluhan tahun silam tanpa perlu terjebak oleh paham dan arus radikal yang membabi-buta. Itulah senyum pertama saya setelah keluar dari mulut “Jalan Damai” sekaligus menyemangati saya untuk terus bersuara: saya perang terhadap RASISME!

Sergi/nov/2016

Comments