Usai merampungkan Pemukiman Kalicode, Romo Mangunwijaya meneruskan
aksi kemanusiaannya ke daerah Grigak, Gunung Kidul, di selatan Yogyakarta.
Sebuah kampung pelosok dengan alam gersang dan menyedihkan. Bertahun-tahun penduduknya
kesulitan mendapatkan air bersih karena satu-satunya sumber mata air di sana,
ada di tebing Pantai Grigak yang berjarak kira-kira 250 meter dari pinggiran
hutan.
Dengan dana dari royalti novel “Burung-Burung Manyar” nya, Romo
Mangun mencoba membuat sistem pengairan sederhana. Dia merancang instalasi pipa
ratusan meter untuk mengalirkan air bersih dari pantai ke wilayah terdekat
dengan perkampungan.
Kala itu, pertengahan 1988, bulan Ramadhan. Baru saja Romo Mangun
menjerang air panas untuk keperluan memasak di gubuknya, seorang warga
menjumpai dengan roman serius.
“Romo, kemarin ada orang-orang dari kota lho, bawa mobil gede di
dekat balai desa. Romo, lihat ndak?”
“Lihat. Ada apa to memangnya?”
“Mereka dari Jakarta, Romo. Bagi-bagi peralatan ibadah buat warga
desa.”
“Apa yang salah?”
“Mereka takut Romo mau mengkristenkan warga Grigak.’
Tawa Mangun langsung meledak. “Mengkristenkan?” Perut Mangun
berguncang seperti balon yang terisi air.
“Lho, kenapa Romo malah tertawa. Tidak marah dibilang begitu?”
Masih menahan tawa, Mangun berkata, “Apa dasarnya saya harus
marah? Pikiran kamu itu yang dangkal, Mas. Harusnya kita senang to.”
“Senang gimana, Romo?”
“Saya dan teman-teman hanya bisa membantu mengalirkan air bersih
bagi warga, tapi Tuhan mengirimkan orang baik dari Jakarta untuk memberi
sarung, kopiah, dan sajadah. Tentu harus disambut gembira, to. Mintanya cuma
air, malah diberi sesuatu yang lebih. Sudah sepatutnya kamu dan warga lainnya
mengucap syukur. Ya, ndak?”
“Ya, sih…Saya kira Romo marah atau tersinggung gitu?”
“Tersinggung gimana? Sampeyan itu harus belajar melihat sisi
positif dari perbuatan orang. Jangan curigaan begitu kalau tak mau asam
lambungmu kumat. Masih pagi kok sudah mbanyol,” ledek Mangun sambil berjalan ke
arah dapur. “Ini kan bulan Ramadhan. Pasti warga memerlukan semua keperluan
itu. Malah saya senang sekali kalau bisa dibangun mushola di dekat sini biar
warga semakin taat beribadah. Dan kita bisa menyalurkan air bersi untuk
keperluan wudhu mereka. Ayo…nikmat mana lagi yang kau dustai?”
Kemudian Mangun melirik geli ke arah orang itu. “Saya itu tak
berbakat jadi nabi, Mas, yang harus naik gunung turun gunung menyebarkan agama.
Jantung saya sering kumat. Saya hanya tukang yang bisanya kerja bangunan saja. Justru
sampeyan itu loh yang banyak bakatnya.”
“Bakat apa, Romo?”
“Bakat melawak dengan memakai topik agama! Tapi sayang, ndak lucu!”
Orang itu jadi malu hati dan langsung berpamitan.
sergi/2016
Comments
Post a Comment