Beberapa bulan setelah ditahbiskan menjadi pastor, Romo
Mangunwijaya berangkat ke Bandung mengambil pendidikan di Teknik Arsitektur
ITB. Hanya setahun, kemudian Mgr. Soegijapranata memintanya mendalami
arsitektur tata kota dan daerah lebih mendalam di Rheinisch Wesfaelische
Technische Hochschule di Aachen, Jerman.
“Suatu hari nanti, saya ingin kamu bisa menerapkan
pengetahuanmu di tanah air kita. Indonesia Merdeka membutuhkan banyak
sumbangsih keilmuan dari segenap lapisan masyarakat, siapapun dia, apapun
golongannya.”
“Tugas orang Katolik itu bukan membaptis orang, Itu urusan
Roh Kudus. Tugas sebenarnya adalah bagaimana membuat negara dan bangsa ini
lebih baik ke depannya.”
Begitu dialog singkat Mgr. Soegija kepada Romo Mangun pada
sebuah pagi berkabut di tahun 1960. Pesan yg juga disampaikan kepada Romo
Hardjawardja saat menugaskan ke Wenen untuk mempelajari musik. Agar sepulangnya
nanti mampu menumbuhkan dunia kesenian yang bernafaskan budaya Indonesia.
Kepada penyiar RRI, Pak Besut saat dia berniat bergabung ke
Partai Katolik pada masa itu, Mgr. Soegija pun bertutur, “Tempatmu bukan di situ. Biarlah Partai
Katolik diurus oleh mereka yang sudah terpanggil di dalamnya. Dunia kepenyiaran
Indonesia harus bisa berkembang dengan dedikasimu.”
Praktek keagamaan, di mata seorang Mgr. Soegija adalah
urusan personal manusia dengan Tuhannya. Itu tak bisa dicampur-adukkan dengan
kewajiban membangun negara. Terpenting adalah bagaimana menjaga rasa
kebangasaan dan semangat nasionalisme yang terwujud lewat tindak nyata. Karena
dengan persatuanlah, kehidupan beragama nantinya bisa berjalan dengan tentram
dan damai.
Dan Romo Mangun
menggenapkan niat gurunya, Mgr. Soegija lewat segala perjuangan dan sepak
terjangnya bagi kemanusiaan, kebhinnekaan dan sikap toleransi semasa hidupnya. 100
% Katolik, 100 % Indonesia, dan Nasionalisme adalah nafas yang tak boleh
berhenti.
Comments
Post a Comment