TIONGHOA MISKIN DAN JALAN BERLIKU MENJADI ORANG INDONESIA










TIONGHOA MISKIN DAN JALAN BERLIKU MENJADI ORANG INDONESIA!

Statement Pak JK bahwa sebagian besar org kaya Indonesia adalah warga keturunan Tionghoa beragama Khonghucu dan Kristen, sungguh menggelikan hati. Apalagi ditambah embel-embel, sementara orang miskin didominasi oleh warga beragama Islam...Alamak, Pak. Bagaimana mungkin? Data dari mana? Benarkah seorang JK berkata demikian. Saya minta bantuan Google untuk menelusuri. Ternyata itu adalah ucapannya saat menutup sidang tanwir Muhammadiyah di Ambon pada 26 Feb 2017 silam.
Sebenarnya, kalau mau diadakan kajian yang lebih objektif, jujur, dan ilmiah, warga Tionghoa yang jadi konglomerat hanya di kisaran 175 orang saja, sekitar 5000 pedagang menengah dan
250.000 pengusaha kecil. Sisanya atau mayoritas (sekitar 9,5 juta, tafsiran saya) adalah petani, nelayan, dan buruh dan rata-rata miskin (Leo Suryadinata, 2005). Leo juga menulis bahwa terkait 70% atau 90% konsentrasi ekonomi yang dikuasai etnis Tionghoa, jelas hiperbolik karena dominasi kegiatan ekonomi Indonesia sejujurnya ada pada BUMN-BUMN besar seperti di sektor telekomunikasi dan pertambangan.

Jangan dilupakan pula. Ada jutaan warga Tionghoa miskin dan jumlah mereka lebih banyak daripada jumlah Tionghoa kaya. Itu fakta! Tengok populasi mereka yang tersebar di pelosok Jawa, Sumatera, pedalaman Kalimantan dan Timur Indonesia. Dari cerita Tony Su, Koordinator Masyarakat Pelangi Pecinta Indonesia di satu tulisannya, bahkan di Kampung Seng dan Pegirian, Surabaya, penghasilan mereka hanya Rp700.000 sebulan tidak cukup untuk membuat dokumen yang harganya bisa sampai Rp20 juta. Mereka sangat sulit mendapatkan status WNI (data 2011).

Rebeka H & B. Triharyanto melakukan riset dengan tinggal langsung di pinggiran Tangerang pada 2008. Mereka menemukan banyak hal yang mengharu-biru terkait kehidupan Tionghoa miskin di sana, yang bahkan untuk mengurus SKBRI (surat kebangsaan RI), akta kelahiran dan KTP pun dipersulit. Padahal mereka telah turun-temurun tinggal di kawasan itu, bahkan sejak Benteng Makasar di bangun di Batavia pada tahun 1700-an. Namun para “Cina Benteng” itu tetap menjadi penghuni tanpa kewarganegaraan, kelas terendah dan termiskin dalam konteks hidup berkebangsaan. (Saya punya dua stock buku hasil penelitian ini. Kalau Pak JK ingin membaca, boleh minta tolong staf bapak japri saya, nanti saya kirimkan satu. Gratis!)
Meski begitu, Badan Pusat Statistik memberikan laporan menggembirakan, jumlah penduduk miskin di Indonesia hingga Maret 2016 sudah mengalami penurunan dibanding sebelumnya (termasuk kalangan Tionghoa miskin). Meski masih tergolong besar dengan jumlah 28,01 juta jiwa.

Saya, warga negara dengan status double minoritas: keturunan Cina dan Kristen, menilai statement Pak JK di atas sedikit tidak elok, tidak valid, dan mengundang sebuah tendensi provokatif bagi yang tidak memahami persoalan sebenarnya. Akhirnya, saya semakin yakin, mengapa kini silent majority mulai bergerak dan bersuara. Bukan untuk menambah keruh suasana. Tak lain ingin terus mengibarkan kebenaran dan keadilan yang kadang mudah sekali diputar-balikkan. Dan kebenaran itu akan terus berteriak sekalipun dalam kubur.
Ahh…memang tidak mudah menjadi orang Indonesia. Jalannya sungguh terjal dan berliku sejak berabad-abad lamanya. Tapi apa boleh buat, kami sudah terlanjur sayang pada negeri nyiur melambai ini: Indonesia!

ss/14 mei-17
sumber foto: google

Comments

  1. Susah ya kalau sudah menyangkut SARA, Pembesar Bangsa saja metode berpikirnya begitu. Bagaimana rakyat yg di bawahnya. Prihatin.mode.on

    ReplyDelete
  2. tulisan yang sangat mencerahkan, semoga berguna untuk mencerahkan mereka diluar sana yang masih terstigma yang salah mengenai suku tionghoa

    ReplyDelete
  3. Mustinya JK disomasi sebagai pemicu sara.

    ReplyDelete

Post a Comment