Saya sudah tonton kembali film G-30-S.
Film itu punya struktur penceritaan yg baik sekali walau memang sedikit melelahkan. Terlalu banyak yg ingin disampaikan. Namun itu ditutupi oleh skenario yg rapih, dialog yg efektif, angle kamera dinamis, dan tentu akting bagus dari para pemain. Terlihat bagaimana seorang Arifin mendrill habis pemainnya dengan puluhan karakter berbeda. Setting dan property sangat mendukung. Gambar yg saya tonton tak lagi jernih, tp saya yakin, aslinya keren. Banyak shot nya yang ditembak secara real-time, bukan colongan waktu. Lihat saja, suasana dini hari saat penyergapan ke rumah para jenderal yang dilanjutkan dengan berangkatnya Kol. Untung ke RRI pada pagi hari.
Arifin bukan sutradara sembarang. Jauh sebelum dia mendapat kepercayaan di film G-30-S, karyanya sudah melanglang di berbagai festival tanah air dan international. Jangan salah, dia salah satu sutradara Indonesia yang banyak dipujikan oleh Festival Cannes 1977 berkat film garapannya, Suci Sang Primadona, yg berhasil melukis wajah Indonesia apa adanya.
Dia juga penulis skenario handal yang berpijak pada riset yang tak asal. Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa, Matahari-Matahari, Serangan Fajar, bukti film2 nya.
Saya yakin di film G-30-S, bersama tim yg kebanyakan para ahli, dia telah jungkir balik mengobrak-abrik arsip sejarah dengan bulir-bulir keringat yg sebesar biji jagung. Ini masukin gak ya, ini boleh gak ya. Ini bahaya gak ya, ini akan disensor gak ya? Ini sensitif gak ya? Itulah mungkin pergulatan batinnya saat menulis scenario pemberontakan PKI. Dia menerima film ini bukan tanpa kegelisahan. Ada beban yg mengelayut di pundaknya. Entah kenapa saya menangkap sinyal itu. Beberapa scene dan shot nya memperlihatkan betapa dia gelisah, gamang dan ragu sendiri. Ada beberapa top shot yg sebenarnya tak perlu, justru dibuat berlama-lama. Big Close-up yg tak konsisten. Sudut kamera yg harusnya bisa dibuat tenang, justru dibikin bergerak-gerak, padahal obyeknya hanya satu orang. Back sound musik yg sebenarnya bisa dibuat menyanyat tapi ditahannya agar dia tidak terlhat emosional. Tapi kontrol nya justru lepas pada scene penembakan Jenderal Panjaitan yang notabene adalah seorang penganut Kristen Prostestan. Sesayup saya seperti mendengar lagu Gregorian atau Ave Verum Corpus di scene ini. Arifin larut didalamnya. Mungkin dia juga menangis saat melihat adegan ini di layar monitor. Saya jadi terbayang pada adegan serupa di 2 film Spielberg, Munich dan Schindler List.
Tapi ada satu kenjanggalan di scene ini. Sebelum terbunuhnya, sang jenderal berdoa dalam kamar. Ada sebuah salib menempel di tempok dekat tempat tidur. Sepertinya salib itu kurang tepat (semoga saya salah lihat). Karena salib yg dipakai kalangan Kristen Prostestan berbeda dengan Katolik.
Terpilihnya Arifin kadang menggelitik hati saya jg. Kenapa Arifin ya. Padahal kalau dari sisi emosional film berlatar sejarah, Sjumanjaya, Frank Rorimpandey dan Teguh Karya termasuk calon kuat. Teguh Karya lah. Tengok saja filmnya November 1828 yang dibuat begitu apik, detil dengan riset sejarahnya yg gila-gilaan. Tapi bagaimana pun, saya terus berdecak kagum pada Arifin selama menonton film ini. Ibarat orang lari marathon, nafasnya panjang sekali, dia tahu kapan harus memelankan langkah, kapan harus ngegas. Arifin telah menunjukkan kelasnya sebagai sineas bertangan dingin meski masa-masa pengerjaan film G-30-S, dia pasti panas-dingin jg. Bisa jadi Pak Harto sesekali menjenguknya di lokasi syuting dan ruang edit.
Di scene Lubang Buaya, saya memang melihat seorang perempuan mengambil sebuah silet hitam (mungkin merk “tiger”) yg terselip di gedek bilik. Perempuan itu beranjak ke ruangan tempat seorang jenderal terikat yg sudah memar wajahnya. “Penderitaan itu, perih, Jenderal…” Dan dia mengayunkan silet ke muka sang jenderal. Mungkin ini satu dari sekian data yg kata sejarah in-informasi alias tak benar. Baiklah... Sekalipun scene itu dan scene kekerasan lainnya diangkat, bukankah adegan penembakan dan penyiksaan dan penguburan ke sumur, sudah sangat horror?
Nobar atau tidak, itu soal lain. Tak perlu nobar, detik ini org bisa kok ngeklik youtube. Saya hanya ingin mencoba jujur dengan diri saya sendiri. Film adalah karya seni bukan paparan penelitian ilmiah. Sangat tidak fair jika menyandingkan keduanya. Film adalah media bercerita yg punya keterbatasan ruang dan durasi.
Saya menyudahi film itu sambil berkali-kali memuji kerja keras Arifin C Noer beserta seluruh kru dan pemain yang telah memberikan sebuah jejak berkualitas.
Arifin telah meninggalkan catatan penting di dunia perfilman, sebuah film dgn tingkat kesulitan tinggi. Sekaligus telah membuka perdebatan sejarah yg tentunya, anda dan saya tak berani melakukannya di era Orba kemarin.
Dengan mengatakan, “Bung Arifin, anda hebat. Terima kasih buat karyanya!” Setidaknya saya belajar kembali bagaimana mengucap syukur dan berterima kasih untuk segala pembelajaran yang diberikan. Apapun itu jenisnya.
ss-17
Film itu punya struktur penceritaan yg baik sekali walau memang sedikit melelahkan. Terlalu banyak yg ingin disampaikan. Namun itu ditutupi oleh skenario yg rapih, dialog yg efektif, angle kamera dinamis, dan tentu akting bagus dari para pemain. Terlihat bagaimana seorang Arifin mendrill habis pemainnya dengan puluhan karakter berbeda. Setting dan property sangat mendukung. Gambar yg saya tonton tak lagi jernih, tp saya yakin, aslinya keren. Banyak shot nya yang ditembak secara real-time, bukan colongan waktu. Lihat saja, suasana dini hari saat penyergapan ke rumah para jenderal yang dilanjutkan dengan berangkatnya Kol. Untung ke RRI pada pagi hari.
Arifin bukan sutradara sembarang. Jauh sebelum dia mendapat kepercayaan di film G-30-S, karyanya sudah melanglang di berbagai festival tanah air dan international. Jangan salah, dia salah satu sutradara Indonesia yang banyak dipujikan oleh Festival Cannes 1977 berkat film garapannya, Suci Sang Primadona, yg berhasil melukis wajah Indonesia apa adanya.
Dia juga penulis skenario handal yang berpijak pada riset yang tak asal. Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa, Matahari-Matahari, Serangan Fajar, bukti film2 nya.
Saya yakin di film G-30-S, bersama tim yg kebanyakan para ahli, dia telah jungkir balik mengobrak-abrik arsip sejarah dengan bulir-bulir keringat yg sebesar biji jagung. Ini masukin gak ya, ini boleh gak ya. Ini bahaya gak ya, ini akan disensor gak ya? Ini sensitif gak ya? Itulah mungkin pergulatan batinnya saat menulis scenario pemberontakan PKI. Dia menerima film ini bukan tanpa kegelisahan. Ada beban yg mengelayut di pundaknya. Entah kenapa saya menangkap sinyal itu. Beberapa scene dan shot nya memperlihatkan betapa dia gelisah, gamang dan ragu sendiri. Ada beberapa top shot yg sebenarnya tak perlu, justru dibuat berlama-lama. Big Close-up yg tak konsisten. Sudut kamera yg harusnya bisa dibuat tenang, justru dibikin bergerak-gerak, padahal obyeknya hanya satu orang. Back sound musik yg sebenarnya bisa dibuat menyanyat tapi ditahannya agar dia tidak terlhat emosional. Tapi kontrol nya justru lepas pada scene penembakan Jenderal Panjaitan yang notabene adalah seorang penganut Kristen Prostestan. Sesayup saya seperti mendengar lagu Gregorian atau Ave Verum Corpus di scene ini. Arifin larut didalamnya. Mungkin dia juga menangis saat melihat adegan ini di layar monitor. Saya jadi terbayang pada adegan serupa di 2 film Spielberg, Munich dan Schindler List.
Tapi ada satu kenjanggalan di scene ini. Sebelum terbunuhnya, sang jenderal berdoa dalam kamar. Ada sebuah salib menempel di tempok dekat tempat tidur. Sepertinya salib itu kurang tepat (semoga saya salah lihat). Karena salib yg dipakai kalangan Kristen Prostestan berbeda dengan Katolik.
Terpilihnya Arifin kadang menggelitik hati saya jg. Kenapa Arifin ya. Padahal kalau dari sisi emosional film berlatar sejarah, Sjumanjaya, Frank Rorimpandey dan Teguh Karya termasuk calon kuat. Teguh Karya lah. Tengok saja filmnya November 1828 yang dibuat begitu apik, detil dengan riset sejarahnya yg gila-gilaan. Tapi bagaimana pun, saya terus berdecak kagum pada Arifin selama menonton film ini. Ibarat orang lari marathon, nafasnya panjang sekali, dia tahu kapan harus memelankan langkah, kapan harus ngegas. Arifin telah menunjukkan kelasnya sebagai sineas bertangan dingin meski masa-masa pengerjaan film G-30-S, dia pasti panas-dingin jg. Bisa jadi Pak Harto sesekali menjenguknya di lokasi syuting dan ruang edit.
Di scene Lubang Buaya, saya memang melihat seorang perempuan mengambil sebuah silet hitam (mungkin merk “tiger”) yg terselip di gedek bilik. Perempuan itu beranjak ke ruangan tempat seorang jenderal terikat yg sudah memar wajahnya. “Penderitaan itu, perih, Jenderal…” Dan dia mengayunkan silet ke muka sang jenderal. Mungkin ini satu dari sekian data yg kata sejarah in-informasi alias tak benar. Baiklah... Sekalipun scene itu dan scene kekerasan lainnya diangkat, bukankah adegan penembakan dan penyiksaan dan penguburan ke sumur, sudah sangat horror?
Nobar atau tidak, itu soal lain. Tak perlu nobar, detik ini org bisa kok ngeklik youtube. Saya hanya ingin mencoba jujur dengan diri saya sendiri. Film adalah karya seni bukan paparan penelitian ilmiah. Sangat tidak fair jika menyandingkan keduanya. Film adalah media bercerita yg punya keterbatasan ruang dan durasi.
Saya menyudahi film itu sambil berkali-kali memuji kerja keras Arifin C Noer beserta seluruh kru dan pemain yang telah memberikan sebuah jejak berkualitas.
Arifin telah meninggalkan catatan penting di dunia perfilman, sebuah film dgn tingkat kesulitan tinggi. Sekaligus telah membuka perdebatan sejarah yg tentunya, anda dan saya tak berani melakukannya di era Orba kemarin.
Dengan mengatakan, “Bung Arifin, anda hebat. Terima kasih buat karyanya!” Setidaknya saya belajar kembali bagaimana mengucap syukur dan berterima kasih untuk segala pembelajaran yang diberikan. Apapun itu jenisnya.
ss-17
Comments
Post a Comment